Minim Libatkan Rakyat, KontraS Sumut: Proyek Food Estate Bakal Tuai Konflik dan Pelanggaran HAM
digtara.com – Sejak diresmikan oleh Presiden Joko Widodo (27/10/2020), tercatat sudah empat bulan proyek Food Estate berjalan di Sumatera Utara. Salah satu daerah yang menjadi areal percontohan adalah Desa Ria-Ria, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan. Minim Libatkan Rakyat, KontraS Sumut: Proyek Food Estate Bakal Tuai Konflik dan Pelanggaran HAM
Baca Juga:
Komoditas yang ditanam di areal meliputi bawang merah, bawang putih, dan kentang. Sebagian areal Food Estate itu pun telah memasuki masa panen pada Januari 2021.
Menanggapi hal itu, Koordinator KontraS Sumatera Utara, Amin Multazam berpandangan bahwa Food Estate ini akan mengakibatkan konflik karena minim melibatkan masyarakat dalam mengambil kebijakan.
“Di Desa Ria – Ria misalnya, sekalipun masyarakat dengan senang hati menyambut kebijakan tersebut. Namun tetap saja potensi lahirnya persoalan baru sangat besar,” jelasnya kepada digtara.com, Senin (1/3/2021).
Misalnya, lanjutnya, soal penentuan tapal batas lahan yang disertifikatkan. Kemudian, aturan pengelolaan yang sepenuhnya bergantung pada instruksi pemerintah. Serta, berubahnya pola pertanian masyarakat dari kemenyan, andaliman menjadi kentang, bawang merah, dan bawang Putih.
“Selama ini masyarakat hidup dari tanaman kemenyan dan andaliman dengan metode pengambilan hasil dua minggu sekali. Tentu perubahan jenis tanaman memaksa masyarakat turun ke lahan setiap harinya. Walhasil berpengaruh pada kinerja dan hasil yang diharapkan,” ungkapnya.
Selain itu, terkait berkurangnya luasan hutan adat Masyarakat Hukum Adat Pandumaan-Sipituhuta akibat rencana pembangunan Food Estate. Terbitnya SK.8172/MENLHK-PSKL/PKTHA/PSL.
Sebab, luas hutan adat yang mereka terima jauh menyusut dari usulan awal yang mencapai 6.000 Hektar.
“Soal semacam ini tentu karena pemerintah tidak sepenuhnya melibatkan masyarakat dalam mengambil kebijakan pembangunan Food Estate. Proses penentuan lahan, sosialisasi, dan persiapan penanaman pun dilakukan tidak lebih dari 5 bulan,” tandasnya.
Menurut Amin, potensi konflik semakin besar jika melihat pengembangan proyek Food Estate melalui pendekatan pertahanan dan keamanan. Hal ini dibuktikan dari leading sektor proyek Food Estate dipegang oleh Kementerian Pertahanan, bukan Kementerian Pertanian.
“Terjemahannya di lapangan bisa kita saksikan melalui wacana Pelibatan Komponen Cadangan (KOMCAD) yang baru-baru ini telah memiliki payung hukum melalui PP 3/2021. Ada juga surat Telegram Kapolri Nomor ST/41/I/Ops.2./2021 ihwal mendukung kebijakan pemerintah membangun ketahanan pangan nasional. Makanya potensi konflik dan pelanggaran HAM terhadap masyarakat sangat mungkin terjadi kapan saja,” tegasnya.
Sementara itu, berdasarkan monitoring KontraS Sumut, proyek pembangunan Food Estate difokuskan pada areal super prioritas seluas 1.000 Hektar. Proyek ini gunakan dua skema anggaran, yaitu APBN seluas 215 Hektar dan investor seluas 785 Hektar.
Skema APBN yang dikelola oleh Ditjen Hortikultura sekitar 200 Hektar dan Badan Litbang Pertanian 15 Hektar. Sedangkan dari skema investor dikelola oleh PT Indofood 310 Hektar, PT Champ 250 Hektar, PT Calbee Wings 200 Hektar, dan gabungan 4 Perusahaan lain 25 Hektar.
“Sampai akhir Februari 2021, proyek Food Estate masih dilakukan di areal seluas 215 hektar di desa Ria-Ria. Tapi yang jadi soal, lahan itu merupakan gak milik 174 masyarakat dan terdiri dari 7 kelompok tani,” Staf Informasi dan Dokumentasi KontraS Sumut, Adinda Zahra Noviyanti kepada digtara.com, Senin (1/2/2021).
Dikatakannya, lokasi itu sudah dikeluarkan dari kawasan hutan sejak tahun 1979. Pembagian sertifikat juga sudah dilakukan saat kedatangan Presiden Oktober 2020.
Dikatakannya, meski secara administrasi masyarakat merupakan pemilik lahan. Namun segala hal yang menyangkut lahan, pengambilan keputusan, dan proses pengelolaan tanaman harus menyesuaikan dengan skema Food Estate.
Mulai dari jenis tanaman, sumber bibit, pupuk, hingga penyaluran hasil panen telah ditentukan dari Kementerian Pertanian ataupun Pemerintah Kabupaten. Walhasil, masyarakat pun tidak bisa mengambil kebijakan sendiri.
“Bahkan koperasi untuk distribusi hasil panen pun adalah orang yang ditunjuk oleh Pemkab,” pungkasnya.
Dinda menjelaskan Kementerian Pertanian mengucurkan dana 30 Miliar untuk tahun anggaran 2020. Sedangkan dana pengembangan untuk setiap hektarnya mencapai 9 sampai 10 juta.
Anggaran itu pun dialokasikan untuk membuat bedengan, perawatan hingga distribusi panen yang disetor melalui kelompok tani. Tapi tidak termasuk bibit, pupuk, dan fasilitas lain seperti bentor pengangkut dan selang air yang telah disediakan.
“Oleh karena itu, Food Estate di Sumut masih menuai banyak persoalan. Jika tidak disikapi secara bijak, agenda Proyek Strategis Nasional ini justru potensial menghadirkan konflik berkepanjangan,” tambahnya.
[ya]Â Minim Libatkan Rakyat, KontraS Sumut: Proyek Food Estate Bakal Tuai Konflik dan Pelanggaran HAM