Angin Segar Tak Bertahan Lama, CPO Kembali Meredup
Baca Juga:
digtara.com| JAKARTA – Angin segar bagi industri perkebunan tak bertahan lama. Setelah pemerintah Indonesia melakukan relaksasi ekspor produk crude palm oil (CPO), sentimen lain yang berpotensi kembali menekan sektor ini kembali muncul.
Awal 2019, skema Comprehensive Economic Cooperation Agreement (CECA) yang disepakati Malaysia dan India mulai berlaku. India akan menurunkan bea masuk impor CPO dari Malaysia dari sebelumnya 44% menjadi 40%. “Hal itu bakal berimbas pada ekspor CPO Indonesia,” ujar analis Artha Sekuritas Juan Harahap, Minggu (16/12/2018).
Terlebih, Indonesia merupakan salah satu eksportir CPO terbesar ke India. Penurunan bea masuk impor CPO dari Malaysia tersebut akan membuat CPO asal Indonesia menjadi kurang kompetitif di pasar India.
Tak tertutup kemungkinan volume ekspor CPO Indonesia tertekan oleh Malaysia. Sebab, berdasarkan perhitungan Kasan Muhri, Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BP3) Kementerian Perdagangan, penurunan tarif yang mulai berlaku di 2019 tersebut bakal menaikkan volume ekspor Malaysia ke India sebesar 190.020 ton.
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) tak menampik, perjanjian kedua negara tersebut bisa menekan ekspor Indonesia. Oleh karenanya, GAPKI juga meminta pemerintah melobi India supaya persaingan menjadi lebih sehat.
Corporate Communication SSMS Andre Taufan juga tak menampik, kebijakan India berpotensi menekan kinerja perusahaan. Terlebih, 70% hasil produksi SSMS dalam dua bulan terakhir diekspor ke India dan China.
Andre berharap, kebijakan kepada Malaysia juga akan diikuti dengan kebijakan untuk Indonesia. “Jika tidak, persaingan jadi tidak kompetitif,” imbuh dia.
Diversifikasi pasar
Meski begitu, SSMS tak mau terlena menunggu hasil lobi pemerintah. Sebab, manajemen emiten perkebunan ini melihat fluktuasi harga CPO masih berlanjut. Oleh karenaitu, SSMS juga menjajaki beberapa pasar baru selain India.
SSMS akan mulai melakukan roadshow ke sejumlah negara untuk mencari pasar ekspor baru. “Kami akan menjajaki Laos, Kamboja, Nepal, Myanmar, Uzbekistan, dan Bulgaria,” ujar Andre. Sayang, dia belum bersedia memberikan gambaran berapa potensi pemasukan yang didapat dari pasar barunya ini.
Sementara, Juan mengatakan, ekspor ke pasar baru merupakan strategi yang paling efektif. Tapi, bakal lebih baik jika emiten perkebunan memiliki nilai tambah dari produknya. Nilai tambah itu terbukti ampuh menjaga kinerja keuangan dari terpaan fluktuasi harga CPO. “Bisa dengan tidak langsung menjual CPO, tapi menjualnya dalam bentuk minyak goreng seperti di beberapa emiten,” jelas Juan.
Namun, strategi tersebut tidak memberi dampak instan. Juan melihat, selama penerapan kebijakan B20 belum maksimal, industri CPO dalam negeri rentan tertekan. Juan merekomendasikan hold untuk emiten CPO.
Juan memberi SSMS target harga Rp 1.300 per saham. Akhir pekan lalu, SSMS turun 5 poin ke level Rp 1.250 per saham.[WIN]