Maret, BI Prediksi Inflasi 0,14 Persen
digtara.com | JAKARTA – Bank Indonesia (BI) memperkirakan inflasi periode Maret 2019 sebesar 0,14 persen secara bulanan (mont to month/mtom). Sedangkan untuk tingkat tahunan atau year on year (yoy) tingkat inflasi di level 2,51 persen.
Baca Juga:
Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo mengatakan, angka tersebut menandakan stabilitas dari sisi harga komoditas masih terjaga. Dengan demikian, memperkuat asumsi bahwa kondisi domestik Indonesia relatif terjaga.
“Masih cukup baik. Tinggal sekarang bagimana kita dengan kestabilan di nilai tukar bisa kita jaga saatnya kita untuk terus support momentum pertumbuhan,” ujarnya saat ditemui di Masjid Baitul Ikhsan BI, Jakarta.
Penyumbang inflasi bulan ini paling besar berasal dari bawang merah sebesar 0,13 persen. Kemudian diikuti oleh bawang putih 0,04 persen, angkutan udara 0,02 persen, cabai rawit 0,01 persen, dan air minum kemasan 0,01 persen.
“Inflasi yang relatif seperti dari bawang merah kemudian masalah angkutan udara meskipun kontribusinya semakin kecil sekitar 0,02 persen. Artinya sudah dengan inflasi itu cukup moderat dan bisa dikatakan itu masih sangat kecil,” ucapnya.
Sementara itu, beberapa komoditas yang menyumbang deflasi adalah daging ayam ras sebesar 0,06 persen, telur ayam ras sebesar 0,02 persen, serta beras, wortel, dan bensin masing-masing sebesar 0,01 persen.
Menurut dia, inflasi yang rendah ini bukan disebabkan oleh berkurangnya daya beli masyarakat. Pasalnya, berdasarkan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Maret 2019 tingkat konsumsi masih mengalami kenaikan dari 125,1 menjadi 127,5.
“Itu gambaran confidence konsumen tinggi baik melakukan investasi dan konsumsi. Retail size juga naik ke arah 97-an. Artinya itu gambaran daya beli ada,” kata dia.
Dia melanjutkan, sampai dengan Februari lalu terjadi peningkatan pada pendapatan masyarakat termasuk petani. Hal ini juga menunjukkan daya beli masyarakat tidak terganggu.
“Apalagi inflasi terus bisa ditekan rendah jadi itu bukan gambaran dan tidak mencerminkan bahwa inflasi rendah daya beli turun. Lebih karena biaya cost transfer kepada harga jual tinggi,” tuturnya.