Awas..!!! Ini Dampak Negatif Pola Asuh Hyper-Parenting
digtara.com | MEDAN – Saat ini orang tua sering kali memegang kontrol penuh atas perjalanan anak-anaknya dalam menuju kesuksesan. Sebahagian dari mereka bahkan merasakan kepuasan tersendiri atas aturan dan batasan yang mereka buat untuk mengkontrol sang anak.
Baca Juga:
Padahal, pola asuh sepertiitu, dianggap berbahaya bagi perkembangan anak. Pola asuh yang kini dikenaldengan nama Hyper-Parenting itu dianggap sebagai pola asuh fasis yang bisamenjauhkan anak dan orangtua dari hal-hal menyenangkan yang seharusnya bisamereka lakukan bersama.
Psikiater anak, Alvin Rosenfeld menyebutkan, pola Hyper Parenting banyak diterapkan keluarga kelas menengah ke atas. Mereka lebih sering khawatir atas kehidupan anak mereka yang sebenarnya baik-baik saja.
“Bahkan ada beberapa orang tua yang secara sengaja mencari hormon pertumbuhan untuk anaknya yang kebetulan bertubuh pendek dengan anggapan bahwa orang-orang bertubuh pendek akan dianggap pecundang,”kata Alvin seperti dilansir Parential, Rabu (26/12/2018). Sementara itu, pakar anak dari University of Minnesota, William Doherty, menyebutkan, banyak laporan dari sejumlah dokter tentang klien mereka yang anak-anaknya sering menderita sakit maag dan sakit kepala akibat kelelahan dan stres.
Menurut pakar lain, Terri Apter, seorang ahli psikiatri remaja dari Newnham College, Cambridge, kecenderungan orang tua untuk ‘memaksa sempurna’ anak-anaknya ini dipicu oleh motivasi dan tuntutan yang dibentuk oleh lingkungan sekitarnya.
Sejumlah orang tua bahkan percaya bahwa tindakannya tersebut termasuk dalam pola asuh anak baru.
“Ada anggapan bahwa perilaku orang tua tersebut termasuk dalam pola asuh baru, yang mengatakan bahwa Anda harus mengeluarkan semua potensi anak Anda di usia muda, jika Anda tidak mau kecewa di kemudian hari,” kata Apter dikutip laman Sahabat Keluarga Kemendikbud.
Anak jadi korban
Nurul Mufidah dan Muhammad Rifqi dalam penelitiannya yang berjudul “Hyper-parenting Effects Toward Child’s Personality in Stephen King’s Novel Carrie”, mencoba mencari tahu latar belakang orang tua melakukan pola asuh hyper-parenting.
Hasilnya, penyebab utama terjadinya hyper-parenting adalah peristiwa traumatik masa lalu yang dialami oleh orang tua. Mereka juga menemukan sejumlah dampak negatif dari penerapan pola asuh anak ini.
“Hyper-parenting juga akan membuat anak kurang percaya diri, kurang mandiri, mudah menyerah, mudah cemas dan takut menghadapi dunia luar. Selain itu anak menjadi kurang terampil dalam bersosialisasi,” tulis kedua peneliti.
Menurut keduanya, pola asuh hyper-parenting akan menyebabkan anak mempunyai emosi yang kaku dan sulit dikontrol.
Selain itu, anak yang terlalu terbebani dengan aturan dan tugas juga akan membuat tenaga dan pikirannya terkuras, yang bukannya tidak mungkin akan berujung pada masalah kesehatan si anak itu sendiri.
Hal ini juga dijelaskan oleh Ian Janssen dalam risetnya yang berjudul “Hyper-parenting is Negatively Associated with Physical Activity Among 7–12 Year Olds”.
Penelitian yang melibatkan 724 orang tua dari anak berusia 7-12 tahun di Amerika Utara ini menerangkan bahwa pola asuh hiper ini akan menyebabkan dampak negatif pada aktivitas fisik anak. Padahal, aktivitas fisik ini memainkan peran penting dalam menentukan kesehatan mental, fisik, dan sosial anak.
Kebiasaan orangtua mengarahkan anaknya akan membuat anak menjadi terlalu penurut dan kurang bisa mengembangkan bakat dan potensinya sendiri.
Banyaknya tugas dari orang tua dan aturan-aturan yang membatasi gerak mereka berpotensi membuat anak tertekan, terbebani, dan rentan depresi.
Stanford Dean dan Julie Lythcott-Haims dalam buku How to Raise an Adult: Break Free of the Overparenting Trap and Prepare Your Kid for Success menuliskan juga bahwa anak yang kurang mendapat kebebasan dari orang tuanya lebih rentan menjadi korban bully di sekolah ataupun lingkungannya.
Perundungan terjadi karena kurangnya kemampuan komunikasi antara anak dengan teman-temannya. Peraturan dan tugas yang diarahkan orangtua otomatis membuat anak menjadi lebih sibuk, sehingga perlahan akan abai dengan lingkungan sekitar.
Kesibukan yang dijalani anak akan membuat waktu bermain anak menjadi sangat kurang. Selain itu, ia secara perlahan ditarik dari lingkungan sosialnya. Konsekuensinya, anak-anak ini akan kesulitan berkomunikasi dengan baik dengan teman-teman sekitarnya.
Perilaku hyper-parenting juga mengarah pada pembatasan kegiatan anak dengan lingkungan bermainnya. Sejumlah orang tua bahkan melarang anak-anaknya bermain di tempat-tempat kotor.
Celakanya, penelitian yang dipublikasi di Journal of Allergy and Clinical Immunology mencatat, anak-anak yang tinggal di rumah yang terlalu bersih justru lebih mudah menderita alergi dan asma.
“Orangtua mungkin berpikir anaknya harus sehat sehingga mereka terlalu overprotektif menjaga mereka dari paparan kotoran, debu, jamur. Tapi nyatanya, kotoran adalah bagian dari pengembangan sistem kekebalan tubuh anak. Ketika Anda menciptakan lingkungan yang steril untuk anak-anak, Anda justru membentuk anak Anda menjadi lebih mudah sakit,” pungkas Dr. Todd Mahr, seorang ahli alergi dan imunologi.
[AS]