Sidang Kerangkeng Manusia Ditunda, LPSK Tuntut Tunjangan Kematian Rp 265 Juta dan Hakim Minta JPU Lebih Aktif
digtara.com – Delapan terdakwa yang terbagi dalam tiga berkas kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) pada kasus kerangkeng manusia milik Bupati Langkat nonaktif, Terbit Rencana Perangin-Angin kembali menjalani sidang di Pengadilan Negeri (PN) Stabat, Kabupaten Langkat, Rabu (26/10/22).
Baca Juga:
Adapun agenda persidangan yang dipimpin Ketua Majelis Hakim, Halida Rahardhini ialah mendengar tuntutan terhadap kedelapan terdakwa oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Adapun dakwaan yang terbagi ke dalam tiga berkas, pertama yaitu terdakwa Dewa Perangin – angin dan Hendra Surbakti alias Gubsar dengan dakwaan pertama, Pasal 170 ayat (2) Ke-3 KUHPidana atau kedua, Pasal 351 ayat (3) Jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHPidana, atas kematian penghuni kerangkeng Sarianto Ginting.
Baca: Kabupaten Langkat Akan Terima Bantuan Pasang Baru Listrik (BPBL) 1.400 Rumah Untuk Rumah Tangga Tidak Mampu
Kedua, terdakwa Hermanto Sitepu alias Atok dan Iskandar Sembiring alias Kandar. Dijerat dengan dakwaan pertama, Pasal 170 ayat (2) Ke-3 KUHPidana. Atau kedua, Pasal 351 ayat (3) KUHPidana jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana, atas kematian penghuni kerangkeng bernama Abdul Sidik Isnur alias Bedul.
Dan ketiga, terdakwa Terang Ukur Sembiring alias Terang, Junalista Surbakti, Suparman Peranginangin dan Rajisman Ginting alias Rajes Ginting, keempat terdakwa dijerat dengan dakwaan pertama, Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
Atau kedua, Pasal 7 ayat (2) UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
Namun diduga karena ketidaksiapan JPU, alhasil sidang dengan agenda tuntutan terdakwa kasus TPPO pada kerangkeng manusia ditunda.
“Bagimana tuntutannya JPU, berapa lama lagi?,” tanya ketua majelis hakim. “Satu Minggu majelis,” saut JPU.
Ketua majelis hakim pun bertanya soal surat dari LPSK, yaitu permohonan restitusi terhadap korban Sarianto Ginting dan Abdul Sidik Isnur alias Bedul, dan mempertanyakan kinerja JPU. Karena saat disampaikan majelis hakim pertanyaan tersebut, tampak raut wajah JPU kebingungan.
“Apakah saudara jaksa penuntut umum, ada terima surat masuk dari LPSK? Harusnya saudara aktif, karena saudara yang mewakili korban di sini,” ujar ketua majelis hakim.
Mendengar ucapan ketua majelis hakim, JPU tersadar dan mengatakan jika mereka ada menerima surat tersebut. “Iya ada, masih disposisi majelis,” ujar JPU.
“Ya gak bisa begitu, saya sudah pesankan ke JPU yang lain, karena kan saudara yang mewakili korban di sini. Tidak bisa seperti itu,” saut ketua majelis hakim.
Menurut ketua majelis hakim, surat permohonan dari LPSK itu harus segara dijawab oleh penasehat hukum para terdakwa. “Kalian kan mewakili korban, harusnya kalian (JPU) lebih aktif. Karena dasarnya sudah terpenuhi disampaikan sebelum tuntutan dibacakan,” ujar ketua majelis hakim.
Sedangkan ketua majelis hakim menambahkan, minggu ketiga bulan November 2022, persidangan harus sudah masuk putusan atau vonis.
“Kita gak bisa berleha-leha lagi, karena penasehat hukum berhak mengajukan pembelaan, ini sudah minggu terakhir Oktober, minggu depan awal November. Kita cukup memanage dengan baik,” ujar ketua majelis hakim.
Persidangan pun akhirnya diskors selama 30 menit, agar JPU mengambil surat permohonan dari LPSK.
Setelah skors dicabut, persidangan pun dilanjutkan, di mana JPU menyerahkan surat permohonan restitusi dari LPSK ke penasehat hukum para terdakwa dihadapan ketua majelis hakim.
“LPSK menuntut tunjangan kematian untuk keluarga korban Sarianto Ginting dan Abdul Sidik Isnur alias Bedul masing-masing dengan nilai Rp 265 juta,” ujar ketua majelis hakim sembari membaca isi surat permohonan LPSK.
Selanjutnya, persidangan pun dilanjutkan pada, Senin (31/10/2022) terhadap berkas Dewa Perangin-Angin dan Hermanto Sitepu.
Kemudian persidangan kasus TPPO dilanjutkan pada, Rabu (2/11/202).
Diakhir persidangan, Penasehat Hukum, Mangapul Silalahi mengatakan, persoalan restitusi menjadi menarik, pasalnya restitusi ini ditujukan tidak pada tepat sasaran.
“Kalau kita bicara restitusi, harusnya dalam undang-undang TPPO bicara dengan perdagangan orangnya, bukan karena adanya korban, baik luka maupun sampai meninggal dunia. Sedangkan restitusi ini ditujukan pada klien kami yang terbagi kedalam dua berkas. Dan didakwa kpasal 170 dan pasal 351, tidak ada perdagangan manusia, makanya menarik,” ujar Mangapul.
Meski demikian, Mangapul menambahkan ia akan mempelajari surat permohonan dari LPSK tersebut. Dan menegaskan, jika restitusi itu menyangkut tindak pidana perdagangan orang.
“Dan pada tahun 2019 keluarga korban atasnama Bedul pernah menerima semacam uang duka lah, tentu akan kita sampaikan dalam jawaban kita, demikian juga Sarianto. Kita juga tidak tau, atas dasar apa muncul angka Rp 265 juta itu, apa dasar perhitungannya. Dan angka yang disebut itu juga harus realistis juga,” ujar Mangapul.
Langkah selanjutnya, penasehat hukum para terdakwa ini akan menjawab dan mempelajari surat permohonan itu.
“Kita sampaikan ke keluarga tentu keluarga yang pernah memberikan santunan kematian itu, pasti punya bukti kan, yang nanti akan kita sampaikan ke persidangan,” tutup Mangapul.
Ayo baca konten menarik lainnya dan follow kami di Google News
Sidang Kerangkeng Manusia Ditunda, LPSK Tuntut Tunjangan Kematian Rp 265 Juta dan Hakim Minta JPU Lebih Aktif