Melalui Video Zoom, Terpidana Kasus Narkoba Dihukum Mati
digtara.com – Seorang laki-laki dijatuhi hukuman mati melalui panggilan video Zoom di Singapura, saat negara itu menjalani karantina wilayah menyusul lonjakan kasus Covid-19.
Baca Juga:
Punithan Genasan (37) menerima hukuman pada hari Jumat atas andilnya dalam transaksi narkoba yang terjadi pada tahun 2011. Ini pertama kalinya di Singapura putusan seberat hukuman mati dijatuhkan dari jarak jauh.
Kelompok hak asasi manusia mengatakan menjatuhkan hukuman mati pada saat dunia sedang dilanda pandemi adalah tindakan “mengerikan”. Sebagian besar persidangan di Singapura ditunda hingga setidaknya 1 Juni, ketika periode lockdown saat ini akan berakhir. Kasus-kasus yang dianggap esensial ditangani dari jarak jauh.
“Untuk keselamatan semua pihak yang terlibat dalam persidangan, persidangan untuk kasus Jaksa Penuntut Umum v Punithan A / L Genasan dilakukan melalui konferensi video,” kata juru bicara Mahkamah Agung Singapura seperti dilansir dari Reuters, Kamis (21/05/2020).
Pengacara Genasan, Peter Fernando, mengatakan kliennya sedang mempertimbangkan untuk melakukan banding. Singapura memiliki kebijakan toleransi nol untuk obat-obatan terlarang. Pada 2013, 18 orang dieksekusi, â€angka tertinggi dalam setidaknya dua dekade, menurut Amnesty International.
Dari 18 orang tersebut, 11 didakwa dengan pelanggaran terkait narkoba. Singapura membanggakan diri dengan tingkat kejahatan yang rendah dan sangat anti-narkoba, dengan pendekatan tanpa toleransi terhadap perdagangan narkoba.
Sampai baru-baru ini, perdagangan narkoba adalah satu dari empat kejahatan yang wajib diganjar hukuman mati. Hakim sekarang dapat menguranginya menjadi penjara seumur hidup dengan hukuman cambuk, dalam kondisi tertentu.
Pemerintah bersikeras bahwa menjatuhkan hukuman gantung pada penyelundup narkoba mengirim pesan kuat yang bisa mencegah kejahatan yang merusak secara sosial.
Juru kampanye hak asasi manusia telah lama berpendapat bahwa proses ini terlalu rahasia, dan mengatakan bahwa eksekusi secara tidak proporsional menyasar penyelundup narkoba kelas teri, dan tidak efektif dalam menghentikan aliran obat ke negara itu.
Namun, bagi sebagian besar warga Singapura, hukuman mati bukanlah hal yang kontroversial.
Eksekusi jarang mendapatkan liputan terkemuka di media nasional, dan jajak pendapat secara konsisten menunjukkan dukungan publik yang luar biasa untuk hukuman mati dalam beberapa bentuk, membuat beberapa juru kampanye anti-hukuman mati menjadi kelompok pinggiran.
Di Negara tempat media jarang bersikap kritis terhadap keputusan pemerintah, mungkin tidak akan ada banyak kemarahan publik atas nasib Punithan Genasan yang diputuskan melalui panggilan video.
Kirsten Han, seorang jurnalis dan aktivis di Singapura, mengatakan: “Pemberlakuan hukuman mati melalui Zoom menyoroti betapa klinis dan administrasifnya hukuman mati.”
Ia menambahkan bahwa dengan melewatkan persidangan di ruang sidang, keluarga terdakwa kehilangan kesempatan untuk berbicara dan memegang tangan dengan terdakwa.
Amnesty International mengatakan putusan ini adalah “pengingat bahwa Singapura terus menentang hukum dan standar internasional dengan menjatuhkan hukuman mati bagi perdagangan narkoba.
“Pada saat perhatian global terfokus pada penyelamatan dan perlindungan nyawa dalam pandemi, penjatuhan hukuman mati jadi semakin tercela.”
Wakil direktur Human Rights Watch Asia Phil Robertson mengatakan kepada BBC: “Sungguh mengejutkan, para jaksa dan pengadilan begitu tidak berperasaan sehingga mereka gagal melihat bahwa seseorang yang menghadapi hukuman mati harusnya berhak untuk hadir di pengadilan untuk menghadapi penuduhnya.”
Para pejabat Singapura bukan yang pertama mengeluarkan hukuman mati atas panggilan konferensi video. Human Rights Watch mengecam putusan serupa yang dijatuhkan di Nigeria awal bulan ini. Hakim Lagos Mojisola Dada menghukum Olalekan dengan hukuman mati dengan cara digantung atas pembunuhan ibu majikannya.
Hamid mengaku tidak bersalah membunuh Jolasun Okunsanya yang berusia 76 tahun pada Desember 2018. “Hukuman yang tidak dapat diubah itu kuno, secara inheren kejam, dan tidak manusiawi. Itu harus dihapuskan,” kata Human Rights Watch kepada BBC saat itu.
[ya]
https://www.youtube.com/watch?v=W8pUvw3LdEU