Berikut Perkembangan Terkini Laut China Selatan yang Semakin Hot
digtara.com – Saat ini, situasi di Laut China Selatan memanas beberapa waktu belakangan. China nampak bersengketa dengan sejumlah negara tetangga terkait teritorial atas pulau, terumbu karang dan laguna.
Baca Juga:
Perairan ini merupakan rute pengiriman utama untuk perdagangan global dan kaya akan ikan dan kemungkinan cadangan minyak dan gas.
Berikut adalah perkembangan terkini terkait Laut China Selatan seperti yang dilansir AP dan South China Morning Post:
– Indonesia kutuk perusahaan China yang kejam
Pemerintah Indonesia telah mengutuk perlakuan “tidak manusiawi” terhadap warga negaranya oleh perusahaan perikanan China.
Diduga, sejumlah nelayan Indonesia dijadikan sebagai budak virtual, yang menyebabkan kematian terhadap tiga dari mereka.
Masalah ini mengancam akan meningkatkan ketegangan lebih lanjut antara China dan Indonesia. Yang menuding kapal-kapal nelayan ilegal Tiongkok masuk ke dalam zona ekonomi eksklusifnya.
Melansir AP, Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi mengatakan dalam sebuah konferensi video pada hari Minggu (10/5/2020) bahwa 49 nelayan Indonesia.
Mulai dari 19 hingga 24 tahun, dipaksa bekerja rata-rata lebih dari 18 jam sehari di setidaknya empat kapal nelayan Tiongkok.
Marsudi mengatakan beberapa nelayan tidak dibayar sama sekali atau tidak menerima jumlah yang telah mereka setujui.
Pekerjaan tanpa henti dan kondisi buruk di kapal menyebabkan penyakit di antara anggota awak, menewaskan sedikitnya tiga orang Indonesia, yang mayatnya dibuang ke Samudra Pasifik, katanya.
Pada briefing Senin, juru bicara kementerian luar negeri China Zhao Lijian mengatakan Cina sedang menyelidiki insiden itu. Tetapi hasil awal menunjukkan bahwa “bagian dari laporan itu salah.”
“China dan Indonesia telah menjaga komunikasi yang erat tentang masalah ini dan akan menangani masalah yang relevan dengan benar berdasarkan fakta dan hukum,” kata Zhao kepada wartawan seperti yang dikutip AP.
– AS tingkatkan operasi militer
Amerika Serikat telah meningkatkan operasi militernya di perairan dekat China tahun ini. Karenanya, risiko konfrontasi antara kedua negara bakal terus meningkat.
Sepanjang tahun ini, pesawat dari angkatan bersenjata AS telah melakukan 39 penerbangan di atas Laut China Selatan, Laut China Timur, Laut Kuning, dan Selat Taiwan – lebih banyak dari tiga kali lipat jumlah yang dilakukan pada periode yang sama tahun 2019.
Melansir South China Morning Post, Angkatan Laut AS melakukan empat operasi navigasi bebas di Laut China Selatan dalam empat bulan pertama tahun ini, dibandingkan
Dengan hanya delapan untuk keseluruhan tahun 2019. Yang terbaru, pada tanggal 29 April, kapal penjelajah berpeluru kendali rudal USS Bunker Hill berlayar melalui rantai Kepulauan Spratly.
Pada hari Jumat, kapal tempur litoral USS Montgomery dan kapal kargo USNS Cesar Chavez juga dilaporkan beroperasi di Laut China Selatan.
“Pasukan kami terbang, berlayar, dan beroperasi di perairan internasional Laut China Selatan atas kebijakan kami dan sesuai dengan norma-norma kelautan dan hukum internasional,”
“Menunjukkan berbagai kemampuan angkatan laut yang kami miliki di Indo-Pasifik,†kata Fred Kacher.
– Kapal tempur AS berlayar ke tempat perselisihan China-Malaysia
Menurut layanan berita dari Institut Angkatan Laut AS, sepasang kapal milik Angkatan Laut AS berlayar ke tempat perselisihan hak mineral antara China dan Malaysia di Laut Cina Selatan.
Melansir AP, USNI News mengatakan kapal tempur litoral USS Montgomery dan kapal pengisian USNS Cesar Chavez melakukan patroli pada hari Kamis di dekat kapal bor berbintang
Panama West Capella, yang telah dikontrak oleh perusahaan minyak Malaysia Petronas untuk melakukan survei di zona ekonomi eksklusif Malaysia.
Angkatan laut Tiongkok dan kapal penjaga pantai telah mengikuti kapal pengeboran milik perusahaan Malaysia itu.
Pada akhir April, kapal-kapal AS dan Australia sempat melakukan latihan di dekat tempat kapal survei pemerintah Tiongkok, Haiyang Dizhi 8.
Pada hari Jumat, komandan Armada Pasifik AS, Laksamana John Aquilino, mengatakan China harus menghentikan
aksinya dalam menggertak negara-negara Asia Tenggara terkait minyak, gas, dan perikanan lepas pantai.