Mahasiswa Papua di Medan: Pemerintah Bantu Pendidikan Saya
digtara.com | MEDAN – Seorang mahasiswa Papua di Medan yang sempat ikut unjukrasa mengakui bahwa pemerintah telah membantu pendidikannya hingga pascasarjana.
Baca Juga:
Mahasiswa itu adalah Ince Weya. Ince mengawali pendidikan tingginya di Universitas Negeri Medan (Unimed) pada 2013 dengan memanfaatkan beasiswa dari Kemenristek Dikti.
Ketika itu, mahasiswa satu angkatan dengan dia dari Papua yang mendapatkan beasiswa sebanyak 15 orang, empat di Unimed dan 11 lainnya di USU.
Setelah tamat dari Unimed pada 2018, alumnus SMA Negeri I Karubaga, Kabupaten Tolikara, Papua, melanjutkan pendidikannya pada Pascasarjana di USU.
Ia memilih bidang Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan, menggunakan beasiswa dari Kemenpora.
Ince terlahir bukan dari keluarga kaya, ayahnya hanya berkebun ubi, sedangkan ibunya sudah lama wafat. Sejak kecil, ia dan adik laki-lakinya hidup serba kekurangan.
“Karena itu, program beasiswa ini sangat membantu sekali sehingga saya bisa mendapatkan sarjana dan tahun depan selesai pascasarjana,” ujarnya saat ditemui Digtara, Jumat (6/9/2019).
Ayah Ince hanya tamat SMP, sedangkan ibunya, cuma mengenyam pendidikan sampai SD. Ini juga yang membuat ia sejak kecil bertekad dapat meraih pendidikan tinggi.
Dia mengakui, saat masih menjadi mahasiswa baru pernah mengalami perlakuan rasis dan diskriminatif, meski secara tidak langsung. Namun itu tidak berlangsung lama.
Sejak semester empat dia tak lagi merasa mendapatkan perlakuan seperti itu, baik secara langsung atau tidak.
“Sekarang teman saya banyak, banyak kali dan setelah di USU, lebih banyak lagi,” kata Ince.
Lebih lanjut dia mengungkapkan, setelah aksi kedua di Lapangan Merdeka, setahunya para mahasiswa Papua di Medan sudah kembali beraktivitas seperti biasa di kampus.
Yang dia tahu, mereka juga belum ada lagi keinginan mengadakan pertemuan untuk merencanakan unjukrasa.
Ince pun tidak merasa khawatir atas berbagai hal yang diungkapkannya karena berdasarkan fakta.
Sebelumnya, dia mengaku memilih tidak ikut dalam aksi kedua karena tidak sepakat dengan isu gerakan yang diusung, yakni referendum yang mengarah ke isu Papua Merdeka.
Saat ini dia melihat pembangunan di Papua sudah berjalan. Pembangunan sudah masuk ke Papua sampai ke wilayah pelosok, termasuk di bidang pendidikan.
Kendati demikian itu tetap membutuhkan waktu hingga kemajuan Papua sama dengan daerah lainnya. Dia pun yakin pemikiran tersebut bukan hanya dimilikinya, tetapi juga menjadi kesimpulan dari beberapa mahasiswa asal Papua lain yang berkuliah di Medan.
Para mahasiswa Papua di Medan berunjukrasa sebanyak dua kali. Aksi pertama digelar di DPRD Sumut pada Senin 19 Agustus 2019 dan aksi kedua di Lapangan Merdeka, selang 12 hari kemudian.
“Menurut saya, kemerdekaan itu banyak arti. Bagi saya, kemerdekaan itu dapat bebas menentukan dan mengubah nasib sendiri. Seperti saya yang sedang mengubah nasib keluarga saya dengan mengejar pendidikan yang lebih tinggi. Saya sedang memerdekakan diri dari kebodohan dan kemiskinan,” tuturnya.
[AS]