Soal Rektor USU Terpilih Tak Diminta Klarifikasi, Ini Kata Tim Penelusuran
digtara.com – Tim penelusuran USU membantah pendapat rektor terpilih, Dr Muryanto Amin yang tidak pernah diklarifikasi saat proses penelusuran kasus plagiarism. Tim tersebut memang tak bertugas memanggil yang bersangkutan.
Baca Juga:
“Tim yang dibentuk untuk memproses kasus self-plagiarism dr Muryanto ada dua, yakni tim penelusuran dan tim untuk melakukan verifikasi. Sebenarnya Tim penelusuran hanya mengungkap data dan tidak punya hak memanggil orang. Jadi tim kedua ini yang bertugas memangil Muryanto Amin,” jelas ketua Tim Penelusuran dugaan plagiarisme di USU, Jonner Hasugian kepada digtara.com melalui saluran telepon, Selasa (19/1/2021).
Ia menjelaskan sesudah pihaknya mengungkap data lalu menyampaikan laporan ke rektor, kemudian ke komisi etik yang ada di dewan guru besar USU.
“Terus masuk ke pleno guru besar. Hasilnya diserahkan kepada rektor. Baru dibentuk lagi tim verifikasi untuk menindaklanjuti temuannya dengan yang bersangkutan. Kemudian dipanggil orang yang terlibat,” ungkapnya.
Selanjutnya, jelas Jonner Hasugian, dipanggil 4 orang ahli hukum di luar USU yang berkapasitas untuk turut serta memeriksa kasus tersebut. Diantaranya, akademisi dari Pelita Harapan, Kemendikbud, UGM, dan Universitas Mataram.
“Kemudian dibandingkan lah hasil verifikasi itu. Muryanto dipanggil beserta orang yang terkait dengan jurnal tersebut,” pungkasnya.
Hasil verifikasi itu kemudian yang menjadi dasar rektor memutuskan apakah Muryanto terbukti plagiat atau tidak. Dikatakan, bahkan proses tersebut berlangsung lebih satu bulan lamanya.
“Jadi tim saya itu hanya mengungkap data. Maksudnya, ada beberapa dokumen yang diduga plagiat. Lalu kita telaah. Kemudian hasilnya kita laporkan. Jadi diduga dinyatakan plagiat atau tidak plagiat itu kewenangannya ada di rektor,” sebutnya.
Bantahan Lain
Selain itu, dirinya juga menepis bahwa tim penelusuran hanya menggunakan Keputusan Dirjen Pendidikan Islam No. 7142 Tahun 2017 dalam proses pemeriksaan.
“Kami hanya menjadikan keputusan itu sebagai salah satu rujukan. Kalau soal definisi plagiarisme, merujuk pada Permendiknas 17 tahun 2020, disebutkan mencuri karya orang lain. Tapi di pasal no 2, plagiat tidak hanya terbatas disitu,” ungkapnya.
“Karena tidak terlalu jelas, makanya kami ambil rujukan dari Keputusan Dirjen Pendidikan Islam itu bahwa self plagiarism itu benar plagiat,” tutupnya.
Berdasarkan penelusuran digtara.com, Keputusan Dirjen Pendidikan Islam No. 7142 Tahun 2017 menguraikan self plagiarism adalah ketika penulis mempublikasi satu artikel lebih dari satu redaksi publikasi dan mendaur ulang karya tulis/karya ilmiah.
Namun aturan ini merupakan panduan untuk pencegahan plagiarism di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam. Sementara dari Permendiknas 17 tahun 2020 tidak ditemukan frasa Self Plagiarisme.
Permendiknas hanya mencantumkan definisi plagiarisme secara umum, yakni perbuatan secara sengaja atau tidak sengaja untuk memperoleh kredit atau nilai demi suatu karya ilmiah.
Perbuatan dilakukan dengan mengutip sebagian atau seluruh karya ilmiah pihak lain yang diakui sebagai karya ilmiahnya. Tanpa menyatakan sumber secara tepat dan memadai.