Jumat, 22 November 2024

Masyarakat Sipil Sebut Food Estate Tak Pro Petani dan Masyarakat Adat

- Jumat, 05 Februari 2021 07:59 WIB
Masyarakat Sipil Sebut Food Estate Tak Pro Petani dan Masyarakat Adat

digtara.com – Presiden Indonesia Joko Widodo tahun lalu telah menjelaskan lahan yang akan digunakan untuk Food Estate di Sumatera Utara seluas 30.000 Ha. Namun, Food Estate rupanya menuai penolakan dan kritik dari sejumlah lembaga masyarakat sipil yang selama ini konsen untuk memperjuangkan hak masyarakat adat di Sumut.

Baca Juga:

“Misalnya Food Estate yang ada di Humbahas itu seperti kebijakan yang tiba-tiba ada. Terkhususnya untuk masyarakat di desa Pandumaan Sipituhuta,” ungkap Direktur Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumut (Bakumsu) Tongam Panggabean kepada digtara.com di Kaldera Coffee, Kamis (5/2/2021).

Lokasi Food Estate terletak di 4 Kabupaten, yakni Tapanuli Utara, Kabupaten Tapanuli Tengah, Kabupaten Humbang Hasundutan, dan Kabupaten Pakpak Bharat.
Direncanakan, di atas tanah tersebut akan ditanami dengan bawang merah, bawang putih, serta tanaman lainnya. Food Estate ini digadang – gadang untuk membangun kawasan hortikultura terpadu yang berdaya saing, ramah lingkungan, dan modern.

Dikatakannya, kesan tiba-tiba ini harus menjadi fokus perhatian karena ada beberapa konflik yang belum terselesaikan di kawasan tersebut.

“Termasuk konflik di kawasan hutan serta konflik masyarakat adat yang mengklaim tanah adat turun temurun di sekitar areal tersebut,” katanya.

“Kalau kita ikuti misalnya desa Pandumaan yang baru-baru ini mendapatkan sertifikat hak atas hutan 512 Ha sejak 2016 dan realisasinya sejak Desember 2020 masih bermasalah,” tambahnya.

Persoalan konflik belum usai, pemerintah pusat justru memberikan sebagian kawasan hutan dari masyarakat adat Pandumaan menjadi areal Food Estate.

“Nah ini yang menjadi persoalan. Ya kita ingin seharusnya itu ada dalam tahap inventarisasi masalah dulu,” katanya.

Sementara itu, Koordinator Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) Sumut, Hawari Hasibuan mengaku kecewa karena kebijakan tersebut. Karena dianggapnya kontradiktif dengan RPJM pemerintah terkait reforma agraria dan konsep Perhutanan Sosial.

“Terutama soal reforma agraria, karena seharusnya negara lebih meminimalisir ketidakadilan agraria yang terjadi. Sekarang, justru menyerahkannya (melalui Food Estate) kepada perusahaan besar yang sebelumnya sudah menguasai ribuan Ha lahan di Indonesia,” bebernya.

Berdasarkan data yang dihimpun oleh KPA, setidaknya terdapat tujuh korporasi yang akan ambil andil dalam pengelolaan Food Estate. Terkhusunya, di Kabupaten Humbahas, yaitu PT Indofood, PT Calbe Wings, PT Champ, PT Semangat Tani Maju Bersama, PT Agra Garlica, PT Agri Indo Sejahtera, dan terakhir PT Karya Tani Semesta telah siap berinvestasi.

Ditegaskannya, jika alokasi Food Estate 60.000 (total untuk Kalimantan Tengah dan Sumut) dibagi rata kepada petani. Maka dapat mengangkat kehidupan 120.000 petani dari garis kemiskinan.

“Makanya menurut kami pemerintah tidak percaya kepada masyarakatnya yang memang dari dulu petani. Harusnya tanah itu bisa dimanfaatkan bisa untuk produktivitas bertani,” pungkasnya.

Sehingga, lanjutnya, bukan hanya pangan yang akhirnya terpenuhi melainkan kedaulatan pangan juga terwujudkan. Artinya, masyarakat mendapatkan hak terhadap pengolahan lahan pangan itu.

“Ini yang menurut kami sangat mengecewakan. Keberpihakan negara kita kepada rakyat sampai sekarang belum ada,” ungkapnya.

Hal itu juga di tambahkan, Deputi 2 Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sumut, Rian Purba menyatakan tegas menolak kebijakan Food Estate. Pasalnya, dari segi wacana yang diedarkan, yakni ‘ketahanan’ pangan saja sudah menuai kontroversi.

“Dari narasi ketahanan pangan saja sudah patut dipertanyakan. Artinya kita hanya bertahan saja, bukan berdaulat. Lantas siapa yang mengelola? Tentu diserahkan pada bisnis besar agrikultur dari perusahaan Trans nasional,” tuturnya.

Seharusnya, sambungnya, jika pemerintah memang berjanji untuk memberikan akses pengelolaan hutan kepada rakyat. Maka Food Estate ini dikembangkan demi kedaulatan rakyat. Walhasil petani, masyarakat adat harus diberikan akses seluas – luasnya.

“Agar masyarakat dapat mengembangkan kearifan lokalnya. Sampai ke komoditas ekspornya dikelola oleh rakyat,” ucapnya.

Terakhir, Hawari menjelaskan jika Food Estate ini tetap dilaksanakan, maka setiap elemen masyarakat sipil akan melakukan gerakan sosial untuk menentang.

“Karena kalau ini dibiarkan terus, perselingkuhan antara korporasi dengan pemerintah akan semakin memiskinkan rakyat kita. Sehingga gerakan sosial penting untuk dimobilisasi. Mengkampanyekan penolakan itu dari semua sisi,” tandasnya.

 

Ayo baca konten menarik lainnya dan follow kami di Google News
SHARE:
Tags
Berita Terkait
Tabrak Dump Truk, Mahasiswa Undana Kupang Meninggal di Tempat

Tabrak Dump Truk, Mahasiswa Undana Kupang Meninggal di Tempat

Daftar Harga Emas Pegadaian Rabu 20 September 2023, Antam dan UBS

Daftar Harga Emas Pegadaian Rabu 20 September 2023, Antam dan UBS

Kasat Lantas Polres Sikka Dilaporkan ke Propam, Ini Kasusnya

Kasat Lantas Polres Sikka Dilaporkan ke Propam, Ini Kasusnya

Mengenaskan! Jadi Korban Tabrak Lari, Mahasiswi di Kupang Meninggal Dunia

Mengenaskan! Jadi Korban Tabrak Lari, Mahasiswi di Kupang Meninggal Dunia

Dua Pelaku Pencurian dengan Kekerasan Diamankan Polres Sumba Timur

Dua Pelaku Pencurian dengan Kekerasan Diamankan Polres Sumba Timur

Kejati NTT Tahan Lima Tersangka Kasus Korupsi Persemaian Modern di Labuan Bajo

Kejati NTT Tahan Lima Tersangka Kasus Korupsi Persemaian Modern di Labuan Bajo

Komentar
Berita Terbaru