Tak Dihadiri Terduga Pelanggar, Sidang Kode Etik Putuskan PTDH Ipda Rudy Soik
digtara.com - Polda NTT menggelar putusan sidang kode etik terhadap Ipda Rudy Soik, Pama Yanma Polda NTT pada Jumat (11/10/2024).
Baca Juga:
Sidang digelar secara maraton selama dua hari, Kamis (10/11/2024) dan Jumat (11/10/2024).
Sidang putusan pada Jumat digelar selama tujuh jam mulai pukul 10.00 hingga 17.00 Wita di ruangan lantai II Direktorat Tahti Polda NTT.
"Sidang kode etik terhadap Ipda Rudy Soik dilakukan sebagai respons terhadap dugaan pelanggaran yang terkait dengan prosedur penyidikan," ujar Kabid Humas Polda NTT, Kombes Pol Ariasandy, Sabtu (12/10/2024).
Sidang ini, ujarnya bertujuan untuk menegakkan disiplin dan integritas di lingkungan Polri.
"Pemeriksaan sidang kode etik tersebut untuk memeriksa dan mendengarkan keterangan saksi saksi, alat bukti dan keterangan terduga pelanggar Ipda Rudy Soik," urai mantan Wadir Lantas Polda NTT ini.
Ipda Rudy Soik sendiri tidak hadir dalam sidang putusan tersebut. Ia keluar ruangan sidang saat sidang berlangsung. Ia diwakili oleh pendamping (penasehat hukum).
Hasil pemeriksaan sidang tersebut, Ipda Rudy Soik dinyatakan terbukti bersalah dijatuhi sanksi
"Perilaku pelanggar (Ipda Rudy Soik) dinyatakan sebagai perbuatan tercela dan Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) dari dinas Polri," tegas Kabid Humas
Dalam proses pemeriksaan sidangnya, pendamping (kuasa hukum) Ipda Rudy Soik menanggapi secara lisan tuntutan penuntut.
"Meminta maaf kepada institusi Polri atas perbuatan terduga pelanggar karena telah mencoreng nama baik Institusi Polri, dan tindakan terduga pelanggar yang tidak kooperatif, tidak sopan dalam persidangan hingga meninggalkan ruangan persidangan," ujar Kabid Humas.
Pendamping juga tidak mengajukan pembelaan lagi karena terduga pelanggar sendiri tidak kooperatif dalam persidangan, meninggalkan ruang sidang, tidak bersedia mendengarkan penuntutan dan putusan hingga persidangan dilanjutkan tanpa kehadiran terduga pelanggar di persidangan (in absensia).
Majelis sidang Komisi Kode Etik mempertimbangkan persangkaan, tuntutan dan tanggapan dari pendamping terduga pelanggar.
Juga penilaian terhadap seluruh fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan berupa keterangan para saksi Ahmad Anshar, Algajali Munandar, AKP Yohanes Suhardi, Ipda Andi Gunawan, Aipda Ardian Kana, Bripka Jemi O. Tefbana, Briptu Dewa Alif Ardika dan Kombes Pol Aldinan RJH Manurung.
"Pada intinya (saksi-saksi) membenarkan bukti-bukti yang diajukan oleh akreditor, baik oleh terduga pelanggar (Ipda Rudy Soik) maupun pendampingnya (kuasa hukum) mengakui bukti dan fakta tersebut, tidak mengajukan bukti atau pembelaan selain meminta maaf dan mengakui adanya perbuatan yang merugikan intitusi Polri dan selama pemeriksaan sidang tidak kooperatif dan saat persidangan sedang berlangsung Ipda RS keluar dari ruangan sidang di saat pembacaan tuntutan dan tidak bersedia mendengarkan tuntutan dan putusan," urai Kabid Humas Polda NTT.
Mantan Kapolres TTS ini juga mengaku kalau Ipda Rudy Soik telah melakukan perbuatan pelanggaran Kode Etik Profesi Polri berupa perbuatan yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan/atau standar operasional prosedur.
Ipda Rudy Soik juga tidak profesional dalam penyelidikan dugaan penyalahgunaan bahan bakar minyak dengan melakukan pemasangan Police Line (garis Polisi) pada drum dan jerigen yang kosong di lokasi milik Ahmad Anshar dan Algajali Munandar di Kelurahan Alak dan Fatukoa.
"Tempat dilakukan pemasangan police line tidak terdapat barang bukti dan bukan merupakan peristiwa tindak pidana. Tindakan tersebut tidak didukung dengan administrasi penyelidikan sehingga menyebabkan korban Ahmad Anshar dan Algajali Munandar merasa malu, menimbulkan polemik di kalangan masyarakat sekitarnya, keluarganya merasa malu dengan pemberitaan media masa seolah-olah telah melakukan kejahatan padahal dirinya merasa tidak bersalah," tambah Kabid Humas.
Atas tindakan Ipda Rudy Soik tersebut, telah dilakukan audit infestigasi serta pemeriksaan oleh akreditor.
Tindakan Ipda Rudy Soik melanggar Kode Etik Profesi Polri sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (1), dan pasal 14 ayat (1) huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Polri dan/atau pasal 5 ayat (1) b, c dan pasal 10 ayat (1) huruf a angka 1, dan huruf d Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi Polri dan Komisi Kode Etik Polri.
Dalam proses sidangnya, tidak ada fakta yang meringankan. Hanya ada fakta yang memberatkan yakni pada saat pelanggaran terjadi dilakukan secara sadar, kesengajaan dan menyadari perbuatan tersebut merupakan norma larangan yang ada pada Peraturan Kode Etik Polri.
"Perbuatan terduga pelanggar tersebut dapat berimplikasi merugikan dan merusak citra kelembagaan Polri," tegas Kabid Humas.
Terduga pelanggar dalam memberikan keterangan tidak kooperatif dan berbelit-belit dan tidak berlaku sopan di depan persidangan Komisi.
Disisi lain, terduga pelanggar dalam pemeriksaan pendahuluan menolak memberikan keterangan dalam berita acara pemeriksaan dan menolak menanda tangani berita acara pemeriksaan.
Terduga pelanggar dalam persidangan pembacaan tuntutan, mendadak dan menyatakan untuk tidak mendengarkan dan mengikuti persidangan sehingga terduga pelanggar meninggalkan ruangan persidangan namun tetap dilanjutkan dengan sidang tanpa kehadiran (In Absensia) terduga pelanggar.
"Dalam persidangan saat agenda pembacaan tuntutan, terduga pelanggar keluar dari persidangan tidak berkenan mendengarkan tuntutan dan putusan serta keluar tidak mengikuti persidangan secara hukum persidangan tetap berjalan tanpa kehadiran terduga pelanggar," tambah Kabid Humas.
Ipda Rudy Soik juga pernah tiga kali melakukan pelanggaran Disiplin dan satu kali Kode Etik Profesi Polri.
Putusan Disiplin dan Kode Etik Profesi Polri sesuai laporan polisi nomor: LP-A/50/VI/HUK.12.10./2024/Provos tanggal 27 Juni 2024 dengan keputusan hukuman Disiplin Nomor KEP/02/VIII/2024 tanggal 29 Agustus 2024 dengan sanksi teguran tertulis, penundaan mengikuti pendidikan paling lama satu tahun dan pembebasan dari jabatan selama satu tahun.
Laporan Polisi nomor: LP-A/55/VII/HUK.12.10./2024/Yanduan tanggal 7 Juli 2024 dengan keputusan hukuman Disiplin Nomor: KEP/03/IX/2024 tanggal 11 September 2024 dengan sanksi teguran tertulis dan penempatan pada tempat khusus selama 14 hari.
Laporan Polisi nomor: LP-A/66/VIII/HUK.12.10./2024/Yanduan tanggal 7 Agustus 2024 keputusan hukuman Disiplin Nomor: KEP/04/IX/2024 tanggal 18 September 2024 dengan sanksi teguran tertulis.
Laporan Polisi nomor: LP-A/49/VI/HUK.12.10./2024/Yanduan tanggal 27 Juni 2024 dengan putusan sidang Kode Etik Profesi Polri Nomor: PUT/34/VIII/2024 tanggal 28 Agustus 2024.
"Dengan sanksi penempatan pada tempat khusus selama 14 hari dan mutasi bersifat demosi selama tiga tahun," tandas Kabid Humas.
Hasil putusan sidang banding Komisi Kode Etik Polri pada 9 Oktober 2024 menjatuhkan sanksi dari putusan Komisi Kode Etik Polri.
"menambah putusan sanksi berupa mutasi bersifat demosi selama lima tahun terhadap putusan sidang KKEP nomor: PUT/34/VIII/2024 tanggal 28 Agustus 2024," ujar Kabid Humas.
Dalam pemeriksaan sidang lanjutan pada Jumat, t11 Oktober 2024, Ipda Rudy Soik di depan persidangan menyatakan menolak mendengarkan tuntutan dan putusan sidang Komisi Kode Etik Polri.
"Ia keluar dalam ruangan persidangan Komisi, tidak mau mengikuti proses persidangannya (mendengarkan tuntutan, pembelaan dan Putusan)," tandas Kabid.
Majelis mempertimbangkan bahwa hal tersebut merupakan hak dari Ipda Rudy Soik.
"Ketika Ia keluar tidak mau mengikuti persidangan itu juga merupakan hak dari Ipda Rudy Soik untuk tidak menggunakan haknya secara hukum, persidangan Komisi tetap dilanjutkan secara In Absensia sehingga secara hukum putusan yang diambil oleh majelis telah final dan mengikat bagi Ipda Rudy Soik, ataupun para pihak yang berhubungan dengan perkara ini tidak mempunyai hak untuk melakukan upaya hukum, sebagaimana diatur dalam pasal 65 Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi Polri dan Komisi Kode Etik Polri," tegas Kabid Humas.
Sesuai mandat pasal 63 ayat (1) Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi Polri dan Komisi Kode Etik Polri yang mengamanatkan dalam menjatuhkan putusan sidang Komisi Kode Etik Polri didasarkan pada keyakinan Komisi Kode Etik Polri yang didukung sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah bahwa pelanggaran Kode Etik Profesi Polri benar-benar terjadi dan terduga pelanggar yang melakukan pelanggaran.
Sesuai dengan fakta hukum, Komisi berpendapat persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 63 ayat 1 Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2022 telah terpenuhi sehingga sah secara hukum bagi Komisi untuk memutuskan dan menjatuhkan sanksi.