Ibu-ibu Korban Konflik Lahan Besipae Curhat dengan Kapolda NTT
digtara.com – Kunjungan kerja Kapolda NTT ke Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Sabtu (23/1/2021) menjadi ajang ‘curhat’ bagi 5 orang ibu korban konflik lahan di Besipae, Kabupaten TTS.
Baca Juga:
Saat Kapolda NTT Irjen Pol Drs Lotharia Latif, SH MHum melintas ke ruang pertemuan, ia tertegun di depan kantor Sat Resnarkoba Polres TTS. Disitu ada 5 orang ibu warga Besipae, Kecamatan Amanuban Selatan yang menjajakan dagangannya berupa kain tenunan, selendang, taplak meja dan sarung/tas handphone.
Kapolda berdialog dengan para ibu rumah tangga yang saat ini kehilangan lahan pertanian dan hanya bisa beraktivitas dengan kerajinan tangan tenunan dan rajutan.
Damaris Tefa (49), Sofia Sae (43), Anida Manisak (28), Ermiana Kaofi (42) dan Yohana Bait (45) menyampaikan keluh kesah mereka kepada Kapolda NTT.
“Saat ini kami tinggal di rumah pemberian pemerintah. Kami hanya diberi rumah, sementara lahan sekitar kami dikelola Dinas Pertanian NTT,” ujar Damaris Tefa.
Keluhan yang sama disampaikan Sofia Sae. Ia mengaku dari 12 rumah dinding bebak dan atap seng pemberian pemerintah pasca mereka direlokasi, hanya 3 rumah yang terpasang listrik. Sementara 9 unit rumah belum ada listrik dan hanya ada meteran listrik.
“Kami minta pemerintah jangan ganggu kami lagi. Biarkan kami hidup aman dengan aktivitas kami saat ini menenun dan merajut karena kami tidak ada lagi lahan untuk bertani dan berkebun,” harap Ermiana Kaofi kepada Kapolda NTT.
Yohana Bait mengaku kalau saat ini mereka mengandalkan kehidupan dari kerajinan tangan.
Ia mengaku masih 6 kepala keluarga yang belum memiliki rumah pasca rumah mereka dibongkar pemerintah NTT dan direlokasi.
“Terpaksa ada 1 rumah dihuni 2 kepala keluarga karena hanya ada 12 rumah yang dibangun pemerintah,” ujar Yohana Bait.
Bantuan Yayasan
Sejak kehilangan lahan pertanian, mereka dibantu Yayasan Inspirasi Indonesia Membangun berupa bantuan benang untuk tenunan dan rajutan.
Bantuan ini diperoleh sejak awal Desember 2020 lalu dan dimanfaatkan untuk karya tenunan dan rajutan.
Dari 10 orang ibu rumah tangga, mereka berbagi peran dari tugas menggulung benang, menenun dan merajut.
Dalam satu bulan ini, 10 orang ibu rumah tangga korban konflik lahan Besipae ini sudah menghasilkan 4 lembar kain besar, puluhan selendang, belasan taplak meja dan belasan tas handphone.
Untuk pemasaran, mereka sering menjual di pasar dan menawarkan kepada kerabat mereka.
Kain tenunan selimut ukuran besar dipatok seharga Rp 750.000 hingga Rp 1.000.000 per lembar. Selendang tenunan seharga Rp 250.000 per lembar. Sementara taplak meja dan tas handphone rajutan dijual Rp 100.000 per buah.
Mereka bersyukur diberi modal bahan dari yayasan sehingga mereka bisa beraktivitas kembali. “Kami tidak bisa lagi bertani dan berkebun karena lahan yang ada hanya untuk bangunan rumah. Lahan lain sudah dikelola pemerintah,” ujar Anida Manisak.
Borong Hasil Kerajinan
Kapolda NTT juga prihatin dengan kondisi yang ada dan berjanji akan menyampaikan dan meneruskan ke pemerintah Provinsi NTT. Ia pun kemudian memborong semua jualan para ibu ini berupa 4 lembar kain tenunan ukuran besar, 9 lembar selendang tenunan, 8 buah tas handphone dan 8 lembar taplak meja hasil rajutan.
Kapolda memberikan bantuan Rp 6.500.000 untuk menghargai karya tenunan dan rajutan para kaum ibu ini. Selain itu, bersama Kapolres TTS ia juga menyerahkan bingkisan dan bantuan sembako kepada 5 ibu korban konflik lahan Besipae.
Pasca konflik ini, Kapolda NTT sempat meninjau perumahan yang telah dibangun Pemerintah Nusa Tenggara Timur bagi 37 kepala keluarga (KK) yang direlokasi dari lahan Besipae Kabupaten TTS.
Kapolda NTT menggelar dialog langsung dengan 37 kepala keluarga yang menolak direlokasi dan tetap mempertahankan diri untuk tinggal di kawasan Besipae.
Pihak Berkonflik Disarankan Menahan Diri
Kapolda NTT menyarankan semua pihak baik pemerintah maupun warga agar dapat menahan diri terkait masalah ini sehingga tidak terjadi bentrok susulan. “Kami menyarankan pihak-pihak terkait untuk menempuh jalur hukum apabila tidak puas dengan masalah kawasan Besipae tersebut,” katanya.
Terkait masalah ini, Komnas Anti Kekerasan Terhadap Perempuan Republik Indonesia dipimpin Ketua Komisi Nasional Perempuan Andy Yentriyani didampingi Siti Aminah Tardi, Isti Fadatul Khoiriah, Rina Refliandra dan Ibu Novianti sudah bertemu Kapolda NTT.
Dalam pertemuan itu, Kapolda NTT menjelaskan penanganan kasus Besipae di Kabupaten TTS.
Kapolda NTT menerangkan bahwa kehadiran Polri di Besipae semata mata menghindari adanya konflik horisontal antar masyarakat.
“Semua pihak yang berkepentingan harus mematuhi rekomendasi dari Komnas HAM baik Pemprov, Polda NTT, Dinas Kehutanan Provinsi NTT, Kanwil Pertanahan dan masyarakat Besipae itu sendiri,” ujar Kapolda Irjen Pol. Drs. Lotharia Latif, S.H., M.Hum.