Bisnis Rapid Test dan Potensi Pemerasan Warga di Tengah Pandemi

Dengan dalih kesehatan, bisnis rapid swab antigen menjamur
hingga ke jalanan berlabel layanan Drive Thru. Rata-rata, unsurnya demi keuntungan.
Baca Juga:
digtara.com – Sejak awal, akurasi soal rapid test antigen dalam mendeteksi virus Covid-19 memang sangat rendah. Namun Indonesia menggunakannya untuk jaminan aktivitas warga.
Test antigen menggunakan sampel lendir yang diambil dari dalam hidung ataupun tenggorokan, dengan metode usap (swab). Dari sampel yang diambil, alat ini mengidentifikasi virus dalam sekresi hidung dan tenggorokan.
Rapid test antigen hanya membutuhkan waktu 10-15 menit hingga hasilnya keluar.
Kalangan ahli menyebut, tes ini hanya dapat mendeteksi dini sehingga berpotensi memberikan hasil yang negatif palsu dari hasil swab antigen.
Selain itu, tingkat akurasi bervariasi tergantung masing-masing merek.
Walaupun didapatkan hasil negatif pada rapid swab antigen, hal tersebut tidak dapat menyingkirkan kemungkinan terinfeksi Covid-19 sehingga seseorang masih berisiko menularkan ke orang lain.
Begitupun rapid swab antigen dijadikan salah satu syarat bagi orang yang akan perjalanan.
Seruan untuk membawa selembar kertas negatif hasil rapid swab antigen itu tidak efektif menghentikan Covid-19, malah justru membuka lahan bisnis baru beromzet miliaran.
Dengan dalih kesehatan, bisnis rapid swab antigen menjamur
hingga ke jalanan berdalih Drive thru. Rata-rata, unsurnya demi keuntungan.
Di tengah pandemi ini, rapid test antigen yang tak seakurat PCR itu nyata-nyata sudah menjadi alat peras bagi masyarakat. Kenapa? Karena harganya memberatkan apalagi di tengah kesulitan ekonomi saat ini.
Walau dana pas-pasan, orang-orang terpaksa atau tidak, wajib mengambil surat itu digerai-gerai ‘penjualan’ yang ironisnya, rata-rata didukung pemerintah.
Bisnis rapid test di jalananan bertajuk Drive thru, bahkan diresmikan gubernur atau wali kota.
Bisnis ini dibiarkan ‘liar’ tanpa kendali penuh dari pemerintah, namun anehnya, diresmikan oleh pemerintah. Hal ini membuka peluang oknum-oknum untuk bermain dalam gurita bisnis ini.
Dengan kondisi darurat bahkan “perang” saat ini, bisnis rapid test atau swab antigen ini mestilah dalam kendali penuh pemerintah.
Di bawah kendali langsung instansi dan pengawasan aparat dan dalam bentuk pelayanan, bukan bisnis. Sekali lagi, bukan bisnis! Dengan support APBD, harusnya bisa diterapkan sistem subsidi hingga harganya terjangkau atau bahkan gratis.
Bila petugas medis yang digaji pemerintah diberdayakan melayani swab antigen, tentu pelayanan berbiaya murah akan terwujud.
Alangkah tidak empatinya bila Gubernur Sumut justru membiarkan swasta mengendalikan bisnis swab antigen, sementara aparat pemerintah seharusnya masih bisa melakukannya.
Anggaran penanganan Covid-19 cukup besar. Tinggal lagi, efektifitasnya untuk kepentingan rakyat, perlu ditingkatkan.
Tugas instansi terkait untuk menjalankannya dan aparat penegak hukum memantaunya. Jangan sampai justru aparat yang terlibat dalam penyelewengan.
Penyimpangan Sudah Terendus Polisi
Tercium Aparat
Polisi sudah mencium gelagat pihak-pihak yang mencari keuntungan dari bisnis rapid test ini. Dari mulai membongkar alat rapid test bekas di Medan hingga soal pengungkapan alat rapid test tanpa izin edar.
Baru-baru ini, dua lokasi rapid swab antigen di tengah kota Medan digrebek polisi.
Awalnya polisi menggrebek fasilitas rapid test drive thru di Jalan Pulau Pinang, samping Lapangan Merdeka pada Selasa (25/5/2021) sore.
Pada Rabu malam, giliran fasilitas rapid test di Jalan Bukit Barisan, kawasan Lapangan Merdeka yang digrebek tim dari Satreskrim Polrestabes Medan.
Dalih petugas adalah soal perizinan dan pembuangan limbah. Namun detailnya hingga kini belum dipaparkan oleh Kapolrestabes Medan.
Apapun alasan penggerebekan tersebut, langkah petugas patut diapresiasi bila itu terkait pada kepentingan masyarakat.
Di tengah masa sulit ini, pemerintah harusnya mengendalikan segala bentuk upaya untuk mendulang keuntungan pribadi.
Bisnis kesehatan selama ini kerap dituding tidak pro rakyat. Rumah sakit menjamur bukan menjamin kesehatan warganya, tapi menjamin bila yang sakit akan terus bertambah.
Dengan bertambahnya yang sakit, maka bisnis kesehatan kian berjaya.
Begitu juga dengan wabah Covid-19 saat ini. Disadari atau tidak, pandemi telah menjadi ajang bisnis bagi sebagian orang.
Dan tentu saja, ada pihak yang berharap pandemi ini akan berlangsung lama agar pundi rupiah terus mengalir ke kantongnya.
Na’udzubillah.
Penulis: Hadi Iswanto, editor digtara.com

Tabrak Dump Truk, Mahasiswa Undana Kupang Meninggal di Tempat

Daftar Harga Emas Pegadaian Rabu 20 September 2023, Antam dan UBS

Kasat Lantas Polres Sikka Dilaporkan ke Propam, Ini Kasusnya

Mengenaskan! Jadi Korban Tabrak Lari, Mahasiswi di Kupang Meninggal Dunia

Dua Pelaku Pencurian dengan Kekerasan Diamankan Polres Sumba Timur
