Pengamat : Kartu Pra-Kerja Positif, Jangan Disikapi Sinis
digtara.com | JAKARTA – Masyarakat diminta cermat menyikapi usulan program Kartu Pra-Kerja yang dicanangkan calon presiden nomor urut 01, Joko Widodo. Program yang dinilai konkret secara gagasan itu harusnya tidak dicibir tanpa solusi, meski boleh tetap dikritisi, khususnya terkait pendanaannya.Hal itu dikatakan Pengamat politik dari UIN Syarif Hidayatullah Adi Prayitno kepada wartawan, Sabtu (9/3/2019).
Baca Juga:
“Logika jangan semua yang disampaikan petahana itu buruk. Pola pikirnya jangan hitam dan putih. Menurut saya, kalau program kerja ini dianggap enggak realistis mestinya dijawab dengan program kerja yang menurut (kubu paslon) 02 realistis,” kata Adi.
Pernyataan Adi ini menyikapi kritik dari sejumlah kalangan perihal mustahilnya program ini diterapkan. Politisi PKS Fahri Hamzah misalnya, menyebut Kartu Pra-Kerja ini tidak masuk akal karena menurutnya tidak ada dana untuk untuk membiayai program ini. Waketum Gerindra Fadli Zon bahkan menyebut Kartu Pra-Kerja ini impian kosong, politis, dan norak.
Bahkan, sekelompok orang yang menamakan dirinya Tim Advokat Indonesia Bergerak melaporkan Jokowi ke Bawaslu dengan tuduhan Undang-Undang 7 Tahun 2017 Pasal 280 jo Pasal 521 tentang Pemilu terkait larangan menjanjikan atau memberikan uang kepada peserta kampanye pemilu.
Adi menyarankan kepada pendukung pasangan Prabowo-Sandi selaku penantang untuk menjawab Kartu Pra-Kerja dengan program serupa yang dianggap lebih masuk akal untuk memfasilitasi kelompok lulusan SMA dan SMK dalam mengakses pekerjaan.
“Bukan hanya mengatakan itu program tidak rasional, enggak ada dananya, kemudian dilaporin ke Bawaslu. Ini kan menurut saya cara-cara yang ingin menyederhanakan sesuatu dengan lapor melapor. Mestinya Ini dilawan dengan program lain yang rasional,” imbuh Adi.
Dia juga mengkritisi cara-cara paslon Prabowo-Sandi memberikan solusi permasalahan, yang hanya terfokus pada 100 hari kerja. Menurut Adi, dalam menjawab program kerja petahana idealnya kubu penatang bisa menyuguhkan gagasan yang lebih brilian dan rasional dalam mempermudah akses pendidikan, mengatasi lonjakan calon-calon tenaga kerja.
Kendati demikian, Adi sepakat dengan pendapat yang mengatakan bahwa pendanaan dari program ini tetap harus difikirkan secara matang dan terukur.
“Isu dari mana (uangnya) itu memang perlu dijawab. Apakah akan diambil dari pengetatan dana Badan dan Kementerian, pajak, atau nambah hutang sekalipun, itu enggak soal selama itu untuk kebaikan rakyat miskin. Selama itu untuk kebaikan anak-anak muda kita supaya bisa memilki pekerjaan. Jangan sampai sirkulasi keuangan ini hanya berkutat pada kelompok-kelompok menengah tertentu,” beber Adi.
“Toh selama ini kita tidak pernah membayangkan pembangunan infrastruktur yang jor-joran itu ada uangnya, bahkan dananya dari mana enggak jelas, tapi dalam praktiknya infrastruktur jelas. Banyak lobang untuk mengeluarkan dana. Misalnya dari pengetatan dana pengeluaran kementerian. Artinya semua kementerian dan departemen itu dipaksa mengencangkan ikat pinggang biar dananya dialokasikan untuk infrastruktur. Itu kan salah satu upaya. Dulu infrastruktur juga dicibir dianggap gak realistis, duitnya gak ada. buktinya ada. Setelah dana-dana BUMN, dana pajak juga diambil,”tambahnya.
Adi mengatakan cita-cita dari program ini besar agar anak-anak muda tidak jadi pengangguran. Agar lulusan-lulusan SMA dan SMK punya skill di bidang usaha dan pekerjaan. “Apa itu salah. Semua diawali dari ide,”tegasnya.
Adi tidak menampik jika program ini akan memiliki insentif elektoral untuk Jokowi, sekaligus mengesankan kubu 02 panik dengan kartu pra kerja ini. “Tentu (berpengaruh). Karena ini program populis dan visi misi Jokowi dari tiga kartu ini lebih detail. Artinya ketika ditanya bagaimana ibu-ibu bisa mengakses barang mudah, jawabannya ya sederhana dikasi kartu sembako murah, ketika ditanya anak muda bisa kerja, dikasi keterampilan lalu disubsidi,” kata Adi.
Menurut Adi hal itu lebih kongkret ketimbang jawaban kubu Prabowo-Sandi yang selalu bersifat umum dengan jawaban 100 hari kerja. “Prabowo sebenarnya semangatnya sama ingin membantu rakyat, tapi jawabannya semua akan diselesaikan dalam program 100 hari. Tidak ada basis argumentasi yang detail. Prabowo selalu berlindung di bawah narasi besar, tapi gagasan yang menyentuh bumi enggak ada. Lebih banyak retorika besarnya, tapi gagasan operasionalnya kering,” bebernya.
[AS]