Visi Pertahanan Jokowi Lebih Konkret Ketimbang Prabowo
digtara.com | JAKARTA – Calon presiden nomor urut 01, Joko Widodo dinilai memililki visi yang konkret dalam bidang pertahanan jika di bandingkan dengan capres 02 Prabowo Subianto.
Baca Juga:
Hal itu dikatakan Ketua Kelompok Kerja (Pokja) 8, Edy Prasetyono menanggapi debat antara Jokowi dan Prabowo dalam debat keempat kampanye Pilpres 2019 yang digelar Sabtu 30 Maret 2019 kemarin. Dimana salah satu tema yang diangkat adalah tema pertahanan.
Menurut Edy, gagasan Jokowi untuk membangun industri pertahanan merupakan hal yang tepat. Sebab, ia berkata pertahanan Indonesia saat ini masih bergantung dari luar negeri.
Kebergantungan Indonesia atas alat utama sistem pertahanan berdampak negatif bagi keuangan negara. Sehingga, ia menyebut pembangunan industri pertanahan merupakan solusi atas hal itu.
Dengan membangun industri pertahanan, ia meyakini banyak negara akan menjalin kerjasama investasi dengan Indonesia dalam bidang pertahanan.
“Kalau melihat gagasannya kemarin itu tampaknya Pak Jokowi ingin merubah cara pikir kita jangan hanya melihat pengadaan Alutsista atau modernisasi (pertahanan) itu dari sekedar spending, tapi bisa menjadi investasi,” ujarnya Edy, Senin (4/1/2019).
Terkait investasi pertahanan, Edy menjelaskan ada tiga hal yang sejatinya telah dilakukan pemerintah saat ini. Pertama, ia melihat pemerintah sudah banyak melakukan riset untuk kepentingan industri pertahanan dalam negeri.
Kedua, ia berkata pemerintah telah menjalin kerjasama dengan sejumlah negara untuk memproduksi Alutsista. Misalnya, ia menyebut Indonesia menjalin kerjasama dengan Korea Selatan dalam membuat pesawat tempur dan dengan Turki membuat tank harimau.
“Yang ketiga itu melalui alih teknologi, misalnya adalah pembuatan kapal selam dengan Korea Selatan. Jadi kita beli, lalu tenaga kita dididik di sana agar suatu saat diharapkan PT PAL bisa membuat sendiri. Jadi ada transfer pengetahuan teknologinya,” ujar Edy.
Selain membangun industri pertahanan, ia juga mengaku sepakat dengan langkah pemerintah Jokowi yang membangun satuan baru di wilayah terluar. Selain merubah paradigma petahanan domestik, ia mengatakan satuan di wilayah terluar itu membuktikan Jokowi memahami bahwa pertahanan Indonesia telah didasari atas pertimbangan geopolitik dan geostrategi.
Pertahanan di bawah pemerintahan Jokowi, kata dia, merupakan yang pertama mengembangkan Air Defense Identification Zone (ADIZ) dan Indonesia Maritime Identification Zone (IMIZ).
“Ini cara pandang yang benar-benar berubah. Kita dengan demikian bukan pertahanan yang dulu lebih banyak ke domestik, sekarang berusaha melihat keluar. Ada proyeksi dan parameternya,” ujarnya.
Sementara Prabowo, ia melihat gagasannya belum konkret. Ia berkata Prabowo lebih beretorika mengenai pertahanan, misalnya dengan menyebut pertahanan Indonesia lemah dan anggaran TNI kurang.
“Pak Prabowo dia hanya menyebut justru hanya soal TNI itu lemah, anggaran kurang, tetapi visinya apa?,” ujarnya.
Lebih dari itu, ia mengingatkan pertahanan Indonesia harus benar-banar diperbaharui mengingat secara geografis berdekatan dengan banyak negara dan menjadi jalur perlintasan pertagangan internasional.
“Pertahanan kita harus menjadi seperti yang digambarkan tadi. Jadi ruang pertahanannya dilengkapi medernisasi dan itu harus mengubah paradigma dari defense spending menjadi defense investment dengan mengembangkan industri pertahanan,”tandas Edy.
Pokja 8 adalah kelompok yang terdiri dari beberapa orang akademisi dan profesional yang memiliki perhatian dan pengalaman di bidang reformasi sektor keamanan dan transformasi pertahanan. Melalui satu wadah berwujud lembaga kajian, semua yang terlibat dalam Pokja 8 ingin menyelaraskan antara ilmu pengetahuan dan pratik di bidang reformasi sektor keamanan dan transformasi pertahanan.
Pokja 8 yang diresmikan pada bulan Februari 2018 bekerja untuk membantu para pemangku kepentingan dalam mengawal dan melanjutkan agenda reformasi sektor keamanan serta mendorong proses transformasi pertahanan di Indonesia.
[AS]