12 Wamen di Kabinet Baru Seperti Menyimpan Bom Waktu
digtara.com | JAKARTA – Pasca Presiden Joko Widodo melantik 12 Wakil Menteri Kabinet Indonesia Maju. Penempatan posisi 12 Wamen dikritik karena dinilai tak sesuai aturan dan hanya mengakomodir kepentingan partai politik.
Baca Juga:
Menanggapi hal tersebut, Pakar hukum tata negara Bayu Dwi Anggono mengatakan pengisian jabatan wamen secara besar-besaran patut dikritisi.
“Pengisian jabatan wamen secara besar-besaran ketika kabinet baru terbentuk adalah kebijakan yang patut dikritisi mengingat dalam sistem presidensial di UUD 1945, menterilah yang berkedudukan sebagai pembantu presiden dalam menjalankan pemerintahan,” ungkapnya.
Dia menegaskan pengangkatan wamen di awal masa jabatan kabinet tak sesuai dengan Pasal 10 Undang-undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Dalam aturan ini, menyatakan pengangkatan Wamen sifatnya fakultatif.
Dengan aturan itu, artinya jika dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus maka Presiden dapat mengangkat wakil menteri pada kementerian tertentu.
Posisi wamen diperlukan jika memang ada target yang ditetapkan Presiden Jokowi tinggi. Lalu, tujuan pengangkatan wamen di suatu kementerian tersebut untuk meringankan beban kerja berlebihan dari satu menteri di kementerian tertentu.
Namun, pengangkatan wamen ini juga perlu melihat terlebih dulu kinerja suatu kementerian dalam waktu tertentu.
“Untuk dapat mengetahui apakah suatu kementerian membutuhkan wamen tentunya baru dapat diketahui setelah berjalannya kabinet dalam jangka waktu tertentu yaitu ketika kabinet telah bekerja kemudian berdasarkan hasil evaluasi presiden diketahui,” jelas dosen Universitas Jember itu.
Dia menyindir adanya wamen juga lebih kental bagi-bagi kekuasaan kebutuhan untuk memperkuat kinerja pemerintahan. Komposisi wamen yang diangkat Presiden mayoritas dari parpol pendukung dan relawannya saat Pemilu 2019 menjadi buktinya.
“Padahal maksud awal pembentuk UU Kementerian Negara saat mengatur jabatan Wamen adalah diproyeksikan untuk kalangan profesional, mengingat jabatan menteri diasumsikan mayoritas sudah diisi oleh kalangan parpol,” tutur Bayu.
Maka itu, Bayu menyindir sikap Jokowi soal kebijakan wamen ini sebagai bentuk inkonsistensi atas janji pemerintahan yaitu ramping namun kaya fungsi dan bekerja cepat. Hal ini sesuai pidato Jokowi pada 20 Oktober 2019 lalu yang ingin penyederhanaan birokrasi. Saat itu, Jokowi ingin memangkas birokrasi karena saat ini dinilai gemuk.
“Bahkan Presiden juga menyatakan eselonisasi harus disederhanakan dari 4 eselon cukup menjadi 2 level eselon saja. Sikap Presiden yang demikian ini juga bentuk inkonsistensi atas janji pemerintahan yang sederhana, ramping namun kaya fungsi dan bekerja cepat,” katanya.
Kemudian, posisi Wamen secara besar-besaran juga menyimpan bom waktu karena keberadaannya tak akan selalu berkorelasi dengan peningkatan kinerja suatu kementerian. Ia khawatir adanya wamen justru akan menimbulkan matahari kembar di suatu kementerian.
“Apalagi jika menteri dan wamennya dari parpol yang berbeda. Alih-alih mengefektifkan kinerja kementerian yang ada persaingan perebutan pengaruh antara menteri dan wamen justru membahayakan soliditas kabinet dan membuat habis waktu mengurus konflik dalam kabinet dibandingkan fokus melayani kepentingan publik,” ujarnya.[viva]