Implikasi Hukum Akibat Putusan MK Terhadap Kelembagaan Bawaslu di Pilkada 2020
digtara.com | MEDAN – Berawal dari demokrasi di Indonesia dikenalkan dengan sistem pemilihan langsung pada tahun-tahun awal kemerdekaan Indonesia tepatnya pada tahun 1955 masyarakat Indonesia melakukan Pemilihan Langsung, lalu di tahun 2004 menjadi momentum pemilihan langsung Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.
Baca Juga:
Penggiat Literasi Kombur Konstitusi, Batara Abdullah Nasution mengatakan kemudian pasang surut perubahan sistem kepemiluan di indonesia juga di warnai gejolak yang timbul akibat dari penerapan sistem demokrasi tersebut, bahkan tak jarang menimbulkan perdebatan dan konfrontasi argumentasi yang berujung pada pertikaian. Tapi sesungguhnya itu hanyalah dinamika dan tidak perlu ditanggapi dengan serius sekali.
Dia menjelaskan beberapa lembaga juga muncul sebagai “New Kids†dalam percaturan kelembagaan di Indonesia, mulai dari KPU, Panwaslak Pemilu yang kemudian pasca terbitnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum secara hierarki berjenjang sampai ke tingkat Kabupaten/Kota menjadi Bawaslu hadir ditengah iklim perdemokrasian di indonesia. Motif munculnya mereka semua, pasti didasari “distrust†sesama orang perorang, orang dengan kelompok, sampai nantinya kelompok dengan kelompok.
“Publik di Indonesia sempat dikejutkan dengan adanya beberapa produk hukum lembaga Legislatif di Indonesia yaitu Undang-Undang yang ternyata secara substansial bertentangan dengan Undang-Undang yang lainnya. Padahal Undang-Undang tersebut masih satu koridor pengaturan yaitu seputar “Pemilihanâ€,” paparnya.
Dan Lembaga Legislatif itu memilih diam dan menunggu ada yang menggugatnya di Mahkamah Konstitusi. Atas sikap tersebut, publik Indonesia melalui suatu badan hukum menggugatnya di Mahkamah Konstitusi.
Dia menegaskan dalam hukum sering dikenal dengan istilah kepastian hukum, sejalan dengan hal tersebut secara asosiatif maka Kejelasan, Keteraturan dan Tanpa Penentangan antara satu norma hukum dengan norma hukum lainnya dalam bentuk peraturan. Kepastian hukum juga dimaknai dengan tidak memunculkan argumentasi yang tidak jelas akibat adanya pengaturan yang keliru terhadap suatu objek kajian dalam Undang-Undang.
Jika menurjuk Gustav Radbruch seorang neokantianisme dalam tesisnya “Rechtsphilosophie†(1932) menyebutkan dalam identitasnya sebuah hukum memiliki 3 nilai berupa Rechtmatigheid (Asas Kepastian Hukum), Gerectigheit (Asas Keadilan Hukum), dan Zwechmatigheid (Kemanfaatan Hukum). Dalam kasus ini kita gunakan salah satu nilai yang dikemukakan oleh Gustav yaitu kepastian hukum.
Dia menegaskan perspektif yang diuji oleh keadaan hari ini yaitu adanya landasan legal yuridis terhadap penyebutan lembaga negara khususnya Bawaslu. Pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum sudah mengatur tentang lembaga pengawas pemilihan umum.
Namun pada peraturan (Undang-Undang) yang lainnya seperti Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang nomor 1 tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota menjadi Undang-Undang.
Lalu, pada kedua landasan legal yuridis tersebut terdapat perbedaan frasa penyebutan lembaga pengawas, ada yang menyebutkan Bawaslu. Kabupaten/Kota dan ada pula yang menyebutkan Panwas Kabupaten/Kota. Hal tersebut sangat fundamental, disebabkan pasca Pemilihan Umum tahun 2019 lalu seluruh Badan Pengawas Pemilu tingkat Kabupaten/Kota sudah menjadi lembaga permanen dengan ditandai dengan periodesasi yang sudah baku.
“Tidak lagi berbentuk kepanitiaan yang bersifat ad hoc yaitu berjangka waktu, dalam beberapa bulan tertentu harus sudah membubarkan diri mereka,” ungkapnya.
Dia menambahkan Mahkamah Konstitusi hadir menengahi pertikaian tersebut dengan menghasilkan putusan seperti judul diatas, yang membuat Hukum seputar “Pemilihan“ menjadi pasti. Kemudian pada pasal 23 ayat (3) Undang-Undang 1 Tahun 2015 mengatur Keanggotaan hanya beranggotakan 3 Orang. Tetapi pada Undang-undang 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum sudah mengatur Keanggotaan berdasarkan Jumlah Daftar pemilih Tetap antara 3 dan 5 orang anggota.