Meneropong Iklim Politik Indonesia di Tahun Babi Tanah
digtara.com | JAKARTA – Menurut kalender China, tahun 2019 merupakan tahun babi tanah. Tatanan fengshui meyakini, shio yang merepresentasikan tahun erat kaitannya dengan prospek atau keberuntungan seseorang, hingga kondisi politik dan ekonomi negara.
Baca Juga:
Pakar fengshui Suhu Tan menjelaskan bahwa tahun ini merupakan tahun babi tanah, yang akan disusul oleh tahun babi kayu di tahun berikutnya. Tahun ini merupakan tahun yang sarat bahkan dominan dengan elemen air.
“Elemen air ini kalau terlalu besar tidak baik juga. Indonesia sendiri dilihat dari tanggal kelahiran didominasi oleh elemen tanah, yang tidak bagus kalau bertemu terlalu banyak air,” ujar Suhu Tan kepada Kontan.co.id, Sabtu, (2/2).
Untuk menyeimbangkannya, Suhu Tan meramal, perlu adanya keterpaduan eleman logam dan tanah pada sosok calon pemimpin Indonesia selanjutnya. Maklum, tahun ini Indonesia kembali memasuki masa transisi kepemimpinan atau tahun politik. Ia menilai, pemimpin Indonesia selanjutnya mesti memiliki dominansi elemen logam atau tanah.
Menurut Suhu Tan, unsur logam erat kaitannya dengan sosok negarawan. “Unsur logam bisa juga terkait dengan kekuatan militer yang solid. Negarawan yang diback-up dengan militer,” ujarnya.
Sementara, ia menggambarkan elemen tanah bisa dimiliki oleh seorang rohaniawan, agamawan, atau dalam hal ini seorang ulama. Nah, Suhu Tan meramal, sosok yang ideal memimpin Indonesia di tahun babi tanah ini mestilah perpaduan seorang negarawan dan rohaniawan.
“Harus ada unsur tanah karena sesuai dengan elemen utama Indonesia yang juga tanah, bisa menguatkan di tengah tahun yang banyak airnya ini,” lanjut Suhu Tan.
Selain itu, unsur tanah juga berpadu baik dengan air yang dalam konteksnya bisa dikaitkan dengan perekonomian. Menurutnya, tahun ini Indonesia memiliki peluang baik dalam perekonomian, asal pondasi air tidak rusak oleh ketidakseimbangan elemen.
“Misalnya, politisasi agama itu sama saja mengubah unsur tanah menjadi air. Kalau begitu, air bisa makin besar lagi dan ini yang bisa merusak pondasi air (ekonomi) yang sudah ada,” kata Suhu Tan.